RSS FEED

PEMILU DALAM PANDANGAN MUSLIM


PEMILU DALAM PANDANGAN MUSLIM
ISLAM dalam artian yang spesifik adalah wahyu Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw berupa ajaran dan tuntunan hidup untuk keselamatan umat manusia di dunia dan akhirat. Islam agama yang sempurna, firmanNya : "Hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agamamu…." ( QS. Al-Maidah: 3). Islam agama yang universal mencakup semua aspek kehidupan, firmanNya: "Masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah (menyeluruh) dan jangan mengikuti langkah-langkah setan.." (QS. Al-Baqarah: 208). Dan Islam adalah agama yang adil, seimbang, karenanya umatnya pun adalah umat yang berkeadilan, firmanNya: "dan demikianlah Kami jadikan kalian umat yang adil…" (QS. Al-Baqarah: 208).
Maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim melontarkan ungkapan-ungkapan seperti: "Saya muslim dalam ibadah", atau "saya muslim dalam akhlak", atau "saya mukmin dalam masyarakat ", "muslim yang penting hatinya…", sebab ungkapan-ungkapan tersebut memberikan makna parsialisme, atau sikap dikotomi antar ajaran-ajaran Islam.
Sebagaimana tidak benar ungkapan-ungkapan bernada 'sektarianisme' seperti: "Islam Spiritualis", atau "Islam Fundamentalis", atau "Islam Eksklusif", atau "Islam Inklusif", atau "Islam Reaksionis", atau "Islam Revolusionis", atau "Islam Kanan" dan "Islam Kiri" dan sebagainya. Sebab ungkapan-ungkapan tersebut menyeret kepada sikap persekatan Islam, yang mungkin saja dilakukan sebagian orang lain yang tidak bertanggung jawab pada aspek kedaerahan, kesukuan dan seterusnya.
Muslim & Politik
Mungkin sebagian kita sempat mendengar ungkapan "Islam Politis", sebenarnya ungkapan ini bagi umat Islam tidak dapat diterima, ia salah satu ungkapan yang dilontarkan oleh orang-orang yang tidak senang dengan Islam. Mereka ingin memenggal Islam dalam beberapa sekte idiologis. Seperti halnya ungkapan "Islam Sosialis", "Islam Idiologis" dan seterusnya.
Ungkapan yang lebih relevan dalam perspektif Islam adalah "Islam dalam Politik" yang maksudnya Islam memberikan shibghoh (celupan) pada aspek politik, atau ungkapan "Politik Islam" yang maksudnya "politik adalah bagian dari Islam yang terkait dengan ajaran-ajaran Islam yang lain seperti aspek akidah, ibadah, akhlak dst".
Sebab menilik esensi politik, Islam yang disyariatkan Allah sebenarmya berwawasan politik, artinya Islam mengatur hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan antara manusia dalam masyarakat dan negara.
Politik dalam bahasa Arab disebut "Siyasah" yakni mengatur, mengurus, mentadbir, yakni mengatur urusan orang banyak dan mengurus masalah-masalah kehidupan, agar lebih tertib dan bermakna. Jangankan masalah-masalah muamalah, kajian ibadah seperti zakat juga berada dalam bidang politik, terbukti Abu Bakar ash-Shiddiq r.a memerangi orang-orang Islam yang tidak mau membayar zakat. Demikian dalam shalat mengandung makna dan nilai politik, seperti bacaan ayat-ayat tentang politik (syura, keadilan, persamaan hak dsb), gerakan-gerakan imam dan makmum yang menggambarkan hubungan antara pemimpin dan rakyatnya.
Partisipasi Politik Dalam Alam Demokrasi :
Dalam Islam mencegah kerusakan dan melawan kezhaliman adalah bentuk jihad fi sabillah, firman Allah SWT" " (4: 97-99). Kisah-kisah al-Qur'an tentang para tirani penguasa lalim diungkapkan untuk maksud agar setiap muslim mampu menentang sepak terjang mereka dan membenci kezhaliman dengan cara memberikan bantuan dan pembelaan terhadap kaum tertindas. Sementara merubah kemungkaran merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana firman Allah SWT: "(QS. 5: 78-79, 3: 110).
Di alam demokrasi setiap muslim dapat memperoleh kesempatan untuk melakukan sikapnya terhadap fenomena kehidupan di lingkungannya, jika fenomena tersebut merupakan sebuah kebaikan maka ia membela dan menyuarakan kebaikan tersebut lewat media kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi. Jika fenomena di lingkungannya berupa kemungkaran maka dia juga memperoleh peluang untuk berpartisipasi mencegah kemungkaran tersebut agar tidak menyebar dan merajalela di tengah masyarakat.
Namun masyarakat muslim bisa berbeda dalam menyalurkan aspirasi keislamannya, sebagian dalam wadah legal formal berupa organisasi massa, sebagian lagi lewat organisasi politik; perbedaan tersebut merupakan dinamika pemikiran dalam Islam dapat menjadi rahmat dan nikmat jika perbedaan itu disikapi dengan cara-cara yang etis dan bermoral tanpa memojokkan orang lain (sukhriyah), sebagaimana bisa menjadi laknat dan niqmat jika perbedaan itu malah menimbulkan keresahan dan konflik (furqoh) antara umat Islam.
Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Fiqh Daulah menyimpulkan, bahwa multi partai dalam politik sama dengan ragam mazhab dalam fiqih. Bagi umat Islam hendaknya keorganisasian politik tersebut mengacu kepada prinsip-prinsip Islam yang benar dan untuk kemaslahatan umat pada umumnya. Seperti loyalitas kepada siapa diberikan? Prinsip dasar pergerakannya apa? Cara dan program aktifitasnya bagaimana?
Muslim & PEMILU
Rasulullah saw memberikan kriteria pemimpin dalam Islam dalam sabdanya: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kamu cintai dan mereka mencintaimu, mereka yang kalian hubungkan silaturahimnya dan mereka juga menghubungkan silaturahim kepada kalian….." (HR Muslim).
Hadits tersebut memberikan pemahaman implisit kepada kita, bahwa hendaknya kita memilih seorang pemimpin yang memiliki motivasi bersih dan sikap peduli. Rakyat tentunya tidak mengangkat orang yang tidak disukai dan tidak pula memilih system yang tidak diinginkan. Bahkan mereka berhak mencopot dan mengganti pemimpin yang melakukan kesalahan fatal dalam negara.
Bila hal itu dikaitkan dengan PEMILU, maka Pemilu (Pemilihan Umum) adalah salah satu bentuk dan system praktis dari konsepsi demokrasi sebagaimana bentuk-bentuk dan system yang lain seperti meminta pendapat rakyat, ketetapan mayoritas, multi-partai, kebebasan pers dst.
PEMILU ibarat sebuah kesaksian kelayakan yang diberikan kepada kandidat; maka pemilih harus memenuhi syarat sebagai saksi antara lain: adil, diridhoi perilkunya (baca: QS ath-Thalaq: 2 dan 2: 282). Memilih kandidat tanpa standar pemilihan (membeli kucing dalam karung) adalah serupa dengan memberikan persaksian tidak benar dalam kepemimpinan. Maka memilih kandidat yang tidak layak adalah perbuatan dosa karena ia memberikan saksi palsu (QS. Al-Hajj: 30).
Demikian pula motivasi memilih yang salah mengakibatkan bencana bagi para pemilih itu sendiri ( baca: QS. ath-Thalaq: 2 ). Motivasi salah tersebut seperti: menerima suap, memilih karena saudara atau karena kawan dekat dsb, bukan karena kriteria yang semestinya sebagai calon pemimpin dan negarawan sejati.
Seorang muslim jika dimintai persaksiannya, maka ia harus memberikan kesaksian yang benar (baca: QS al-Baqarah: 282-283); maka hendaknya setiap muslim merenung akibat dari ketidakikutannya dalam pemilihan umum.

Dr. Muhammad Idris Abdul Shamad

0 komentar:

Posting Komentar

Return top