RSS FEED

Belajar Dari Taubat Abu Nawas



Dalam Eknsiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam diterangkan bahwa Abu Nawas sebenarnya lebih dikenal sebagai sastrawan kondang, yang nafas-nafas kehidupannya ia habiskan di Istana Harun Al-Rasyid dengan segala kemewahannya. Dalam blantika sastra nusantara, ia tampil sebagai sosok yang jenaka, cerdas dan kaya dengan humor-humornya yang segar.
Abu Nawas, atas wasiat orang tuanya yang menjadi seorang penghulu, dipesan agar mencium telinga ayahnya apabila saat kematiannya tiba. Jika membersit bau harum yang menyenangkan, teruskanlah profesi orang tua sebagai penghulu. Tapi jika keluar bau busuk yang membuat orang muntah, maka jauhilah profesi itu untuk selama-lamanya. Ketika sang ayah wafat, bau busuklah yang keluar dari telinganya. Dengan itu Abu Nawas itupun enggan menjadi penghulu, biarpun Khalifah Harun Al-Rasyid memintanya.
Dalam cerita lain juga disebutkan bahwa nama lengkap Abu Nawas adalah Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Dia adalah seorang sastrawan istana, kelahiran di Ahwas, Iran, tahun 130 Hijriah/747 Masehi. Ibunya seorang wanita miskin yang bekerja sebagai tukang cuci kain wol yang terbuat dari bulu domba. Sedangkan ayahnya adalah seorang serdadu Dinasti Bani Umayyah pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad, Khalifah pemungkas pada Dinasti ini.
Karena lahir di Ahwas, Abu Nawas merasa dirinya lebih seorang Persia daripada seorang Arab. Padahal sebagian besar hidupnya berada di beberapa kota yang kental dengan kebudayaan Arab, Bashrah, Kufah dan Baghdad. Ia bahkan pernah tinggal ditengah-tengah masyarakat Badui di tengah lautan padang pasir dengan tujuan agar dia dapat merasakan nilai-nilai sastra Arab yang asli. Kepenyairannya sudah terlihat sejak usia dini berkat bimbingan seorang penyair berbakat, Waliban bin Al-Hubab dan Khulaf Al-Ahmar. Ia pun belajar Al-Qur’an dan Hadist secara tekun seperti lazimnya anak-anak pada masa itu.
Kepenyairannya telah mempengaruhi jalan hidupnya. Sungguh pun sejak kecil mendapat ganjaran agama yang baik, ternyata Abu Nawas tampil sebagai seorang penyair yang “hura-hura”. Ia salah seorang penganut faham hedonisme, yaitu faham yang lebih mengutamakan kesenangan dunia semata-mata. Lidahnya sering terpeleset. Tidak segan-segan Abu Nawas mempelesetkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dia pun, karena ulahnya itu pernah diajukan ke pengadilan, karena tuduhan menghina Al-Qur’an. Salah satu bait syair yang dinilai menghujat Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut:
Biarlah mesjid-mesjid itu dipenuhi oleh orang yang shalat
Ayolah kita minum khamer sepuasnya
Tuhan pun tak pernah mengatakan “Neraka Wail bagi para pemabuk”
Tuhan hanya berfirman “Neraka wail bagi orang yang shalat”.
Dengan sikapnya yang keterlaluan itu menimbulkan kemarahan umat. Abu Nawas dipandang telah melecehkan agama dan akan dijatuhi hukuman mati. Beruntunglah pada saat itu khalifah yang berkuasa, Harun Al-Rasyid yang bijaksana memberi grasi pada Abu Nawas dan masih memberikan kesempatan taubat.
Abu Nawas termasuk seorang penyair yang bergajul, namun pada akhir hayatnya ia bertaubat dari segala dosa-dosanya. Ia mengaku secara tulus di hadapan Tuhan tentang dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Pengakuan tersebut disenandungkan lewat sebuah syair berikut:
Oh, Tuhanku,
aku tak layak menjadi penghuni surga
Tapi, aku tidak tahan di neraka jahim
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku,
Sebab Engkaulah Maha Pengampun dari dosa-dosa besar
Tuhan, dosaku bagaikan bilangan pasir
Berilah aku kesempatan taubat Wahai Yang Maha Agung
Sementara umurku selalu berkurang tiap hari,
Malah dosaku terus bertambah, bagaimana aku menanggungnya?
Tuhanku,
Hamba-Mu yang penuh dosa kini telah datang pada-Mu mengakui dosa-dosanya dan memanggil nama-Mu
Jika Engkau ampuni, dan Engkau berhak mengampuninya
Sekiranya Engkau tolak,
Siapa lagi yang kami harap selain Engkau?”
Itulah lantunan syair Abu Nawas dalam pengakuannya terhadap segenap dosa yang pernah dengan sengaja ia perbuat. Suatu pengakuan yang benar-benar keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Suatu penyesalan yang benar-benar tumbuh dari hati yang sadar akan kelalaiannya.
Dari lantunan syair Abu Nawas tersebut, satu pelajaran yang paling berharga yang dapat kita petik adalah bahwa suatu pertaubatan memang harus terlahir dari kedalaman hati yang telah benar-benar mengakui bahwa ia adalah sang pendosa, tak bisa luput darinya, yang secara sengaja maupun tidak telah melakukannya. Dari sini, maka dalam taubat unsur kesadaran harus dijadikan pondasi pertama. Bisa dilihat, dalam syair tersebut betapa seorang Abu Nawas telah sadar betul akan segala kekurangan, kejahatan dan keburukan dari segala perangai hidupnya. Dia sadar karena kondisi diri yang seperti itu, dia tidak pantas sama sekali untuk mendapatkan Firdaus sebagai balasan baik bagi orang-orang shalih. Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang dia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan tidak menjadikannya pantas menjadi ahli surga, yang walaupun jika Tuhan dengan segala kemurahan hati-Nya telah memasukkan dia kedalam taman harapan abadi tersebut.
Dan kalau kita mau sadar dengan sesungguhnya, tidak hanya seorang pendosa saja yang tidak pantas saja yang tidak pantas mendapatkan surga Allah itu, juga kita yang selama ini menganggap diri sebagai orang baik-baik tidak pantas mendapatkan tempat tersebut. Apa yang bisa kita banggakan dari diri kita, amal perbuatan dan keistimewaan kita sehingga kita yakin betul bahwa kita sangat pantas untuk menghuni surga? Apakah amal perbuatan kita? Sekali-kali tidak! Berapa banyak amal perbuatan kita yang itu bisa dijadikan ongkos masuk surga. Antara amal perbuatan manusia dengan kenikmatan yang akan diperoleh di dalam surga sesungguhnya tidak sebanding. Bahkan jika kita hitung, seandainya seumur hidup kita hanya melakukan peribadatan tersebut kita ukur dengan berapa banyak kenikmatan di akhirat kelak. Berapa banyak pahala shalat yang telah kita kumpulkan, sementara itu berapa banyak pula kenikmatan Allah yang diberikan secara cuma-cuma, bahkan tanpa diminta yang berupa udara yang setiap detik kita hirup. Berapa banyak telah kita kumpulkan pahala-pahala puasa, zakat, haji, bersedekah, berbuat baik terhadap orang lain, mengaji, mengajar dan berbakti kepada orang tua tapi betapa banyak pula karunia Allah yang telah kita peroleh yang berupa hidup dengan segenap fasilitasnya yang semuanya diperuntukkan buat kita. Sungguh itu tidaklah sebanding. Dan hal itu disadari sungguh oleh Abu Nawas. Dalam hati yang peling tulus dia mengakui betul bahwa dia bukanlah seorang hamba yang pantas menghuni tempat surga itu, yang walau dia mempunyai pahala sebanyak lautan dan sebesar pegunungan.
Suatu saat Nabi bersabda,”Kalian tidak masuk surga lantaran amal perbuatan kalian!”
Tidak juga kau, Nabi?” tanya salah satu sahabat.
Aku juga tidak, kecuali aku masuk surga dengan lantaran rahmat-Nya”.
Banyaknya pahala ternyata tidak bisa menghantarkan seorang hamba untuk bisa memasuki surga. Banyaknya pahala ternyata bukanlah satu-satunya jaminan yang bisa dibanggakan untuk mendapatkan kenikmatan surga. Lantas, pantaskah kita yang masih banyak bergaul dengan kamaksiatan dan selalu bergumul dengan kesalahan itu menduduki tempat yang dijanjikan oleh Allah untuk para kekasih-Nya itu?
Satu sisi Abu Nawas sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang ideal untuk masuk surga, tetapi pada sisi yang lain pun ia sadar dengan sepenuhnya bahwa dia tidak kuat untuk menanggung bebas siksa yang akan dijalaninya di neraka. Satu kesadaran bahwa dia benar-benar banyak dosa dan satu pengakuan bahwa dia tidak akan kuasa menerima siksa. Lantas, apakah yang bisa dilakukan oleh seorang Abu Nawas dalam kondisi seperti itu?

0 komentar:

Posting Komentar

Return top